Belanja Buku Online

Konsultan Anda
indah elmande
Independent
Oriflame Consultant
    
Sekilas Tentang Saya
Hi, selamat datang di Boss Family.
Saya indah elmande akan membantu anda untuk ikut bergabung bersama kami.
"DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG!!
http://asetvirtual.com/?aff=trisnanto
"RHANA GHAIDHA AZZAHRA"
Dilahirkan di Tangerang tanggal 09 Desember 2009 Bertepatan dengan hari
"Anti Korupsi"
Semoga anak ini menjadi anak yang Shalihah dan besar kelak menjadi salah satu pelopor pemberantasan korupsi di negeri ini

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta Barat, Jakarta, Indonesia

Quantum Teaching (2)

4 Kuadran Pembelajaran ala
“Accelerated Learning”
Oleh Hernowo


Perlakukanlah orang lain sebagaimana semestinya,
maka Anda sesungguhnya sedang membantu
mewujudkan berbagai potensi mereka.
GOETHE



Pertama kali saya mengenal konsep accelerated learning (AL) dari buku karya Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning. Menurut Quantum Learning, penemu konsep AL adalah Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”. Lewat “suggestology”, Dr. Lozanov kemudian menegaskan bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apa pun akan memberikan sugesti positif ataupun negatif.
Beberapa teknik yang digunakan oleh Lozanov untuk memberikan sugesti positif, misalnya, adalah mendudukkan pembelajar secara nyaman (tanpa ada ancaman dan tekanan sedikit pun), memasang musik latar di dalam kelas (musik akan mengurangi stres, meredakan ketegangan, meningkatkan energi, dan memperbesar daya ingat), meningkatkan partisipasi individu (kegiatan belajar, apa pun bentuknya, berasal atau berakar pada pembelajar bukan pengajar), menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan diri (fokus dan menganggap sesuatu itu penting dan berarti akan menarik perhatian otak), dan menyediakan pengajar-pengajar yang-terlatih-baik dalam seni pengajaran sugestif (kata-kata sangat menentukan pembangunan suasana belajar yang kondusif).

AL sendiri identik dengan konsep-konsep yang dikembangkan oleh Lozanov yang bernama “suggestology” ini. Bahkan dalam perjalanan konsep ini selanjutnya, akhirnya “Bapak Accelerated Learning” disematkan kepada Lozanov. AL atau pemercepatan belajar kemudian didefinisikan sebagai sebuah pengondisian kegiatan belajar-mengajar yang memungkinkan para pembelajar untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Salah satu buku yang pertama kali memopulerkan AL ditulis oleh Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, Acceletared Learning for the 21st Century. Rose kemudian lebih mempraktiskan buku ini menjadi buku yang membangkitkan semangat belajar, M.A.S.T.E.R It Faster (diindonesikan menjadi K.U.A.S.A.I Lebih Cepat).
Buku lain tentang AL yang sangat menekankan musik ditulis oleh murid Lozanov sendiri, Stephanie Merritt, Simfoni Otak. Dan, akhirnya, Dave Meier kemudian membuat sebuah konsep AL untuk keperluan sebuah pelatihan. Buku Meier berjudul The Accelerated Learning Handbook. Secara kreatif, Meier mengembangkan konsep AL milik Lozanov menjadi sebuah cara untuk melatih SDM perusahaan-perusahaan besar dengan memanfaatkan whole brain (bagaimana sistem pelatihan dapat melibatkan seluruh komponen otak para peserta pelatihan sehingga sebuah pelatihan dapat lebih dipercepat waktunya). Melalui “Accelerated Learning Training Methods Workshop”—yang konsep-konsepnya dijabarkan secara menarik dan detail di bukunya, The Accelaretd Learning Handbook—Meier menciptakan istilah SAVI (Somatis-Auditori-Visual-Intelektual). SAVI adalah metode pelatihan yang diharapkan dapat menggerakkan seluruh otak (whole brain).

Whole Brain: Belajar dengan Seluruh Otak?
Adalah Paul E. Dennison dan Gail E. Denisson yang membuka cakrawala kita bahwa otak baru akan beranjak apabila fisik bergerak. Paul dan Gail kemudian menulis buku berjudul Brain Gym. Gerakan-gerakan (senam) yang diciptakan oleh Paul dan Gail untuk membuat otak dapat bergerak ini kemudian diberi catatan penting oleh Carla Hannaford, Ph.D., dalam bukunya yang mencerahkan, Smart Moves: Why Learning is not All in Your Head. “Setiap gerakan adalah kejadian sensoris-motoris, yang berkaitan dengan pemahaman kita akan dunia fisik,” tulis Carla sebagaimana dirujuk oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Belajar Cerdas, “dunia tempat semua pembelajaran berasal. Gerakan kepala mengarahkan organ sensoris kita (mata, telinga, hidung, dan lidah) terhadap masukan dari lingkungan. Gerakan halus pada mata memungkinkan kita melihat jarak jauh, mempersepsi benda tiga dimensi, mencerap sekeliling dan memerhatikan huruf-huruf kecil di halaman buku. Gerakan lembut pada tangan memungkinan kita menyentuh dan memanipulasi dunia kita dengan cara-cara yang amat luar biasa kompleksnya.” Intinya, betapa penting menggerakan tubuh ketika belajar agar komponen-komponen otak, yang menyimpan saraf-saraf halus, dapat bergetar.
Sebuah buku berjudul Keep Your Brain Alive mengusulkan istilah menarik: neurobics. Lagi-lagi buku ini menekankan betapa pentingnya gerakan untuk membangkitkan seluruh komponen otak. Buku ini ditulis oleh Lawrence C. Katz dan Manning Rubin. Katz adalah pakar neurobiologi di Duke University Medical Center yang memusatkan perhatian pada riset tentang perkembangan otak. Sementara itu, Rubin adalah Senior Creative Supervisor di K2 Design di New York City dan penulis buku 60 Ways to Reliev Stress in 60 Seconds. Di dalam buku yang menarik ini, kedua penulis menyarankan sebuah cara belajar yang efektif dengan mengaktifkan seluruh komponen otak. Agar informasi yang diserap oleh otak dapat lebih banyak dan lebih melekat ketika kegiatan belajar berlangsung, ada perlu banyak rangsangan kepada otak.
Sebagai contoh, seseorang sedang menjalankan kegiatan belajar untuk memahami sekuntum mawar. Apabila orang tersebut hanya melihat mawar tersebut, tentulah dia hanya mengaktifkan sejumlah kecil jalur saraf di dalam kulit otak visual. Tetapi, apabila selain melihat sekuntum mawar, orang tersebut juga membaui dan kemudian menyentuh mawar tersebut secara bersamaan, akan terbentuklah jalur yang lebih kaya yang menuju ke sel-sel saraf otak. Hubungan asosiatif antara rangsangan indra ini membantu sekali untuk mengingat secara lebih tajam dan dalam waktu lebih lama pula. Jadi, sebuah konsep atau petunjuk yang sedang dipelajari oleh seseorang akan memberikan efek pembelajaran yang luar biasa apabila dapat disajikan dengan pelbagai cara sehingga seluruh area otak sang pembelajar dapat terangsang dan menangkap bagian-bagian yang sedang dipelajarinya.


Temuan Roger Sperry yang mengabarkan kepada kita bahwa otak yang kita miliki terdiri atas dua macam, yaitu belahan otak kiri dan kanan, dapat juga kita fungsikan ketika kita belajar agar yang kita pelajari ditangkap oleh dua bukan satu macam otak. Menurut Sperry, fungsi otak kiri berbeda 180 derajat dengan otak kanan. Dr. Taufiq Pasiak, dalam Unlimited Potency of the Brain, menunjukkan perbedaan cara berpikir otak kiri dan otak kanan. Otak kiri cenderung berpikir linear, yaitu selektif, satu arah, analitis, berurutan, tepat pada tiap langkah (kaku), memusatkan perhatian, ada kategorisasi dan klasifikasi, mengikuti jalur yang paling tepat, dan prosesnya terbatas. Sementara itu, otak kanan cenderung berpikir lateral (sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Edward de Bono), yaitu generatif, berbagai arah, provokatif, membuat lompatan, tidak harus tepat (fleksibel), menerima semua kemungkinan, tidak ada kategorisasi, menjelajahi yang paling tidak tepat, dan prosesnya masuk dalam serba mungkin.
Apabila, ketika belajar, dua macam otak tersebut dapat difungsikan secara bersamaan, ada kemungkinan proses penyerapan informasi akan berlangsung lebih utuh. Cara kerja dua macam otak ini dapat kita simulasikan secara sederhana ketika seseorang menerima atau menyerap potongan lirik lagu. Teks dari lirik lagu tersebut diterima oleh otak kiri, sementara irama yang berdendang bersama pembacaan lirik lagu tersebut diterima oleh otak kanan. Dalam konteks yang tidak disadari secara penuh, seseorang akan mudah mengingat kata-kata dalam lirik lagu tersebut ketika irama musiknya diperdengarkan. Dia akan kesulitan mengingat kata-kata dalam lirik lagu tersebut apabila tidak disertai irama yang berdendang. Proses mengingat yang hebat itu terjadi karena dua belahan otak tersebut bekerja dan saling membantu.
Dave Meier, lewat Accerated Learning Handbook memperkenalkan metode SAVI untuk membuat kegiatan belajar dapat merangsang seluruh area otak. SAVI ini dikembangkan dari tiga komponen utama dalam modalitas (cara terbaik seseorang belajar) yang terdiri atas auditori (telinga), visual (mata), dan kinestetis (Meier menyebutnya dengan istilah somatis untuk menunjukkan komponen fisik/raga atau gerakan), lantas ditambah satu komponen lagi berupa ”I” (intelektual atau perenungan) sehingga menjadi SAVI. “Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana-kemari,” tulis Dave Meier. “Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya namakan ini belajar SAVI.”
Salah satu hal penting yang disampaikan oleh Meier ketika memperkenalkan pendekatan SAVI dalam belajar adalah tentang ketidakterpisahan antara tubuh dan pikiran. “Tubuh dan pikiran itu satu,” tegas Meier. Penelitian neurologis telah membongkar keyakinan kebudayaan Barat yang keliru bahwa pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang terpisah. Temuan mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar di seluruh tubuh. Intinya, tubuh adalah pikiran. Pikiran adalah tubuh. Keduanya merupakan satu sistem elektris-kimiawi-biologis yang benar-benar terpadu. Jadi, dengan menghalangi pembelajar somatis menggunakan tubuh mereka sepenuhnya dalam belajar, kita menghalangi fungsi pikiran mereka sepenuhnya.
Agar seluruh area otak terlibat dalam kegiatan belajar, kita juga dapat menggunakan konsep multiple intelligences (MI)-nya Howard Gardner. Menurut Gardner, kecerdasan merupakan kumpulan kepingan kemampuan yang ada di beragam otak. Semua kepingan ini saling berhubungan, tetapi juga bekerja sendiri-sendiri. Temuan Gardner ini didasarkan pada penelitian para pakar otak (neurolog) bahwa otak manusia itu terdiri atas area-area atau kepingan-kepingan. Dan yang terpenting, mereka tidak statis atau ditentukan saat lahir. Seperti otot, kecerdasan dapat berkembang sepanjang hidup asal terus dibina dan ditingkatkan. Gardner memang menggunakan istilah kecerdasan untuk menunjukkan potensi yang ada di dalam setiap area otak yang terdeteksi.
Ada setidaknya sembilan potensi kecerdasan yang ditemukan Gardner di dalam otak kita. Kesembilan kecerdasan itu adalah SLIM-n-BIL ditambah satu kecerdasan bernama kecerdasan eksistensial (bagaimana seseorang mencari dan menemukan makna hidup). Kedelapan kecerdasan lain, mengikuti SLIM-n-BIL adalah kecerdasan Spasial atau visual, Linguistik, Intrapersonal, Musik, Naturalis atau alam, tubuh atau Body, Interpersonal, dan Logika atau matematika. Apabila kegiatan belajar ingin dapat membuat kesembilan kecerdasan tersebut terstimulasi, kegiatan belajar tersebut perlu disampaikan dengan kesembilan cara yang cocok dengan cara kerja masing-masing kecerdasan tersebut. MI memberikan alarm bahwa menyampaikan sesuatu kepada audiens—agar diperhatikan audiens—tak cukup jika hanya bicara atau ngomong doang. Setidaknya gunakanlah gerakan atau gambar atau dikombinasikan dengan musik (irama), keterlibatan audiens, dan juga perenungan.

Implementasi Accelerated Learning
Dave Meier menggunakan siklus empat tahap dalam menerapkan AL dalam sebuah pelatihan. Menurut Meier, proses empat tahap yang sederhana ini bersifat universal, dan dapat diterapkan untuk melakukan kegiatan belajar apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Proses ini dapat diterapkan pada bayi yang belajar bermain dengan mainannya, anak yang belajar naik sepeda, remaja yang belajar bahasa asing, orang dewasa yang belajar menari, orang yang belajar komputer, pegawai yang belajar menjadi manajer sukses. Pokoknya semuanya.
Menurut Meier, empat tahap kegiatan belajar dalam konteks AL itu adalah preparation (persiapan), presentation (penyampaian), practice (pelatihan), dan performance (penampilan hasil). Masing-masing dalam keempat tahap ini memiliki sebuah hubungan yang khas antara sang pemberi materi dan sang penerima materi. Pada tahap pertama, persiapan, sang pemberi materi sangat dominan bahkan seakan-akan ketika berlangsung kegiatan belajar-mengajar, dia sendirilah yang ada di dalam ruangan tersebut. Pada tahap kedua, penyampaian, peran sang pemberi materi sudah tidak dominan lagi karena di dalam ruangan ada sang penerima materi meskipun perannya masih sangat kecil. Pada tahap ketiga, pelatihan, peran sang penerima materi semakin besar dan sang pemberi materi semakin kecil. Akhirnya, pada tahap keempat, penampilan hasil, yang ada di ruangan hanya sang penerima materi. Sementara itu, sang pemberi materi minggir untuk memberi kesempatan kepada para penerima materi untuk menampilkan hasil-hasil yang diperolehnya selama belajar.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa pelatihan konvensional cenderung menekankan Tahap Penyampaian (Tahap Kedua) di atas semua tahap lain dalam siklus belajar. Misalnya, ketika merancang suatu program belajar kita sering mencurahkan 80% atau bahkan lebih dari seluruh usaha, uang, dan waktu kita untuk menyusun materi presentasi (buku kerja siswa, presentasi PowerPoint, program komputer, dan semacamnya). Padahal, Tahap Penyampaian paling-paling menyumbang 20% bagian pembelajaran. Dan itu nyaris tidak ada gunanya sama sekali, kecuali jika didahului Tahap Persiapan dan diikuti Tahap Pelatihan dan Penampilan Hasil yang sehat dan tepat.
Di bawah ini adalah penjelasan secara ringkas apa yang harus dilakukan oleh seorang pengajar ketika ingin menyampaikan sebuah materi di hadapan para pembelajar dengan mengikuti keempat tahap tersebut. Tentu penjelasan ini tidak lengkap. Saya mencupliknya dari buku The Accelerated Learning Handbook karya Dave Meier, khususnya di Bab VI “Ringkasan Empat Tahap”. Bagi yang ingin memahami lebih luas dan jauh, saya menganjurkan untuk membacanya di buku Meier tersebut. Dalam buku Meier, setelah Bab VI, yaitu Bab VII dan seterusnya, setiap tahap dari empat langkah tersebut dibahas dalam setiap bab disertai contoh-contoh yang sangat praktis dan memberikan inspirasi.
Tahap Pertama: Persiapan. Tujuan tahap ini adalah untuk menimbulkan minat para pembelajar. Tahap ini juga harus dimanfaatkan oleh pengajar untuk memberi kepada semua peserta perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang. Selanjutnya, setelah pembangkitan minat dan pengondisian dengan membangun emosi positif, pengajar perlu menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Apa yang dianjurkan untuk dilakukan seorang pengajar sebagaimana ditunjukkan di atas, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini: memberikan sugesti positif, memberikan pernyataan yang memberikan manfaat kepada pembelajar, serta memberikan tujuan yang jelas dan bermakna akan kegiatan pelatihan yang akan diselenggarakan.
Cara-cara lain yang dapat dilakukan pada tahap pertama ini adalah, misalnya, membangkitkan rasa ingin tahu, menciptakan lingkungan fisik yang positif, menciptakan lingkungan emosional yang positif, menciptakan lingkungan sosial yang positif, menenangkan rasa khawatir atau cemas, menyingkirkan hambatan-hambatan belajar, banyak bertanya dan mengemukakan banyak masalah, merangsang para peserta untuk mengaitkan materi dengan pengalaman yang sudah ada di dalam dirinya, serta mengajak para peserta untuk terlibat secara penuh dan aktif sejak awal.
Tahap Kedua: Penyampaian. Tujuan tahap kedua ini adalah membantu pembelajar menemukan materi belajar yang baru dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindra, dan cocok untuk semua gaya belajar. Seorang pengajar dapat melakukan hal-hal tersebut dengan cara, misalnya, berbagi pengetahuan, mengamati fenomena dunia nyata, melibatkan seluruh otak-seluruh tubuh, menyampaikan presentasi yang atraktif, menampilkan grafik presentasi yang warna-warni, menggunakan pelbagai macam cara sehingga dapat diadopsi oleh banyak gaya belajar, memberikan peluang kepada peserta untuk menemukan sendiri baik secara sendiri-sendiri ataupun bekerja sama, dan menggunakan problem-solving method.
Tahap Ketiga: Pelatihan. Tujuan tahap ketiga ini adalah membantu pembelajar mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dalam berbagai cara. Seorang pengajar dapat melakukan hal ini dengan cara, misalnya, menggunakan renungan atau umpan balik, membuat simulasi dunia nyata, peserta melakukan permainan dalam belajar, merangsang peserta agar menggunakan artikulasi individu, menciptakan dialog secara berpasangan atau berkelompok, mendorong peserta untuk mencoba melakukan kegiatan-kegiatan praktis guna membangun keterampilan, mengajar balik (peserta menyampaikan apa yang dipahaminya selama tahap pertama dan tahap kedua), serta memberikan pengajaran dengan sebuah tinjauan yang bersifat kolaboratif (dikaitkan dengan keberadaan para peserta).
Tahap Keempat: Penampilan Hasil. Tujuan tahap keempat ini adalah membantu pembelajar menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada situasi dunia nyata sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat. Seorang pengajar dapat melakukan hal-hal tersebut dengan cara, misalnya, memberikan contoh penerapan konsepnya atau mendorong agar peserta melakukan sesuai dengan yang dipahaminya, peserta diminta menciptakan sesuatu dan mendemonstrasikannya, serta bagaimana agar yang sudah dipelajari dapat dibawa ke luar ruang kuliah—misalnya ketika mahasiswa yang ber-KKN (kuliah kerja nyata). “Jika apa yang dipelajari tidak diterapkan, berarti tidak ada pembelajaran,” demikian kesimpulan penutup dari tahap keempat atau terakhir ini. Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan menjadi tindakan.[]



Tidak ada komentar:

 
Cebong`s Notez
---- Rhana-Ku. Green World Blogger Template---- © Template Design by Herro