Belanja Buku Online

Konsultan Anda
indah elmande
Independent
Oriflame Consultant
    
Sekilas Tentang Saya
Hi, selamat datang di Boss Family.
Saya indah elmande akan membantu anda untuk ikut bergabung bersama kami.
"DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG!!
http://asetvirtual.com/?aff=trisnanto
"RHANA GHAIDHA AZZAHRA"
Dilahirkan di Tangerang tanggal 09 Desember 2009 Bertepatan dengan hari
"Anti Korupsi"
Semoga anak ini menjadi anak yang Shalihah dan besar kelak menjadi salah satu pelopor pemberantasan korupsi di negeri ini

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta Barat, Jakarta, Indonesia

Ucapan Terimakasih

Kepada Seluruh mahasiswa yang telah mengikuti kuliah
Matematika Ekonomi Kelas Akuntansi
saya ucapkan terima kasih.
Untuk nilai yang Anda peroleh merupakan hasil Anda selama ini.




Kepada Seluruh mahasiswa yang telah mengikuti kuliah
Dasar-dasar Pemograman Kelas Fasilkom
saya ucapkan terima kasih.
Untuk nilai yang Anda peroleh merupakan hasil Anda selama ini.


BacaSelengkapnya...

Quantum Teaching (3)

“Writer’s Block”, “Kotak Peralatan”-Menulis, dan Teknik Menulis yang Akan Membuat Seseorang Dapat Menulis dengan Rasa Penuh Percaya Diri
Oleh
Hernowo


“Banyak orang berpikir, para sarjana otomatis bisa menulis. Faktanya, banyak dosen yang mengambil program doktor kesulitan merajut pemikirannya menjadi tulisan yang baik. Hanya dengan mengajar, tak ada jaminan seorang pendidik bisa menulis. Menulis membutuhkan latihan dan, seperti seorang pemula, ia pasti memulai dengan karya yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung buruk. Namun, sepanjang itu original, patut dihargai.” RHENALD KASALI



Menulis bisa sangat mudah dan bisa sangat sulit. Menulis—menulis apa pun—menjadi sangat mudah apabila seseorang, yang berniat menuliskan sesuatu itu, mengawali kegiatan menulisnya dengan cara menulis yang ditujukan kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun, menulis dapat tiba-tiba berubah menjadi monster yang sangat menakutkan alias sulit sekali dilakukan apabila, sebelum mengawali menulis, seseorang sudah memikirkan terlebih dahulu hal-hal yang berada di luar kendalinya—misalnya, bagaimana menemukan judul yang ”menggigit”, membuat pembuka yang menarik, atau memiliki argumentasi yang meyakinkan dan sangat kokoh.

Membuat judul yang baik, membuka tulisan dengan sesuatu yang menarik perhatian, atau memiliki referensi yang kokoh adalah penting. Namun, semua itu dapat dipikirkan dan ditemukan bukan di awal kegiatan menulis. Sebaiknya, itu dipikirkan setelah dia selesai mengeluarklan (menuliskan) bahan-bahan mentah yang ingin dijadikan sebuah tulisan—apakah itu berupa karya ilmiah, artikel opini, atau sebuah buku. Tak sedikit orang yang telah memiliki bahan yang baik dan juga potensi menulis yang lumayan, ujung-ujungnya, setelah kepayahan menulis, menjadi berhenti total menulis gara-gara tidak langsung dapat menuliskan (menemukan) sesuatu yang membuat dirinya percaya diri.

Dalam tulisan ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda beberapa hal penting terkait dengan kegiatan menulis (menulis apa pun) dan bagaimana menghasilkan tulisan yang membuat diri sangat percaya diri. Saya berharap, gagasan saya ini dapat membantu Anda untuk menjadi mudah dalam menjalani kegiatan menulis dan, pada akhirnya, Anda juga dapat menghasilkan tulisan yang benar-benar dapat mencerminkan diri Anda. Materi tulisan ini, terutama, memang, saya tujukan untuk membuat diri Anda dapat menulis dengan penuh percaya diri. Tak berhenti di situ, saya berharap juga, nantinya, materi ini dapat membantu Anda dalam memanfaatkan kegiatan menulis untuk pengembangan diri.

Ada tiga materi yang akan saya sampaikan: Pertama, materi yang berkaitan dengan ”writer’s block” atau kebuntuan yang sering dialami oleh seorang penulis, baik penulis pemula maupun profesional; kedua, tentang ”kotak peralatan” (tool box)-menulis yang dapat Anda miliki dan manfaatkan untuk mengatasi kebuntuan atau kemacetan menulis yang tiba-tiba; dan ketiga tentang teknik menulis yang digagas dan dikembangkan oleh Natalie Goldberg (dalam bukunya Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within), Peter Elbow (Writing without Teachers), dan James W. Pennebaker (Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions).
Tentang ”Writer’s Block”

Tentu, kita semua—yang pernah merasakan bagaimana repotnya menulis—memahami bahwa ada banyak sekali faktor yang membuat seseorang mengalami kemacetan atau kebuntuan menulis. Bagi saya, faktor-faktor itu dapat dikategorikan menjadi dua: teknis dan nonteknis. Problem-problem menulis yang bersifat teknis biasanya dapat dipecahkan dengan teknik-teknik menulis. Beberapa contoh: Jika seseorang tidak berhasil menemukan judul yang baik, dia dapat mendaftar pelbagai kombinasi kata yang memberikan arti baru dan berbeda terkait dengan materi inti atau gagasan yang ditulisnya. Lantas, jika seseorang tidak dapat menuliskan apa pun (blank) di layar komputernya—ketika ingin mengawali menulis—dia dapat, misalnya, menggunakan teknik ”free writing” (menulis bebas).

Berbeda dengan problem-problem teknis, problem nonteknis lebih rumit untuk dipahami dan diatasi karena sifatnya yang, kadang, tidak jelas (tidak mudah dipahami). Sebagai contoh sederhana, terkait dengan problem nonteknis, adalah: Bagaimana kita dapat merasa nyaman dan percaya diri ketika menuliskan sesuatu? Bagaimana pula kita dapat menemukan gagasan yang dahsyat? Dan bagaimana agar, selama menuliskan materi, kita dapat menjadikan gagasan awal itu berkembang sedikit demi sedikit dan akhirnya mencapai puncak? Contoh lain adalah terkait dengan bagaimana kita membangkitkan gairah dan semangat untuk mencicil menulis. Menulis tidak dapat sekali jadi. Jika menulis dipaksakan dan harus segera jadi, yang muncul adalah siksaan dan rasa frustrasi. Nah, bagaimana mengatasi pelbagai problem nonteknis menulis ini merupakan sesuatu yang sangat berbeda dengan yang bersifat teknis.

Berikut adalah daftar sebagian kecil ”writer’s block” yang terkait dengan problem nonteknis menulis:

1. Ketakutan mengeluarkan sesuatu yang “original” secara sangat bebas
2. Kebingungan menentukan materi yang ingin dikeluarkan
3. Ketidakpercayaan diri atas apa yang akan, sedang, dan telah dikeluarkan
4. Kemacetan dalam mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat dipahami
5. Ketiadaan kreativitas—blank, buntu, gelap—yang memberikan tekanan

Di bawah ini adalah cara mengatasinya:

1. Tulis, tulis, tulis apa saja
2. Tidak ada yang sempurna di awal
3. Pembiasaan menulis secara kontinu dan konsisten
4. “Buang” saja yang membuat macet (Elbow dan Pennebaker)
5. Ubah perspektif dalam memandang sesuatu

Dapat merumuskan dan kemudian memahami ”writer’s block”—tanpa harus segera memecahkannya—sesungguhnya sudah sangat menguntungkan bagi seorang penulis. Setidaknya, dia dapat tidak memaksakan diri untuk terus menulis. Dia kemudian sadar bahwa menulis memang tidak bisa sekali jadi. Menulis perlu dicicil dan dikembangkan secara perlahan-lahan dan hati-hati. Terburu-buru atau tergesa-gesa menyelesaikan sebuah tulisan akan menghalanginya untuk menghasilkan tulisan yang baik—tulisan yang dapat membuat dirinya sangat percaya diri.


”Kotak Peralatan”-Menulis

Terkait dengan ”kotak peralatan”-menulis ini, marilah kita meminta bantuan Stephen King. Siapa King? King adalah penulis novel ”thriller” kondang yang sangat produktif. Beberapa novelnya telah dilayarlebarkan. Salah satu yang terkenal (dan mencekam) adalah film Green Mile yang pemeran-utamanya Tom Hanks. Pada tahun 2000, King menerbitkan karya nonfiksi satu-satunya, On Writing: A Memoir of the Craft. Karya nonfiksi King ini telah mendapatkan banyak pujian, antara lain mendapatkan penghargaan berupa ”Bram Stoker Award 2000”, ”Horror Guild 2001”, dan ”Locus Award 2001”. Dalam karyanya ini, King menceritakan secara menarik tentang pengalamannya menulis dan apa itu menulis dalam pandangannya.

Saya menemukan istilah ”kotak perkakas”-menulis di buku On Writing. Secara sangat impresif, King mengisahkan ihwal ”kotak perkakas”-menulis mulai di halaman 145. Ketika itu, King berusia sembilan tahun. Dia punya paman bernama Oren. Paman Oren berprofesi sebagai tukang kayu. Pada suatu hari, rumah yang ditempati King pintunya rusak. Paman Oren pun diminta untuk membetulkan pintu yang rusak tersebut. King melihat Paman Oren membawa ”kotak perkakas” (tool box) yang beratnya dapat mencapai 60 kilogram. Ternyata, Paman Oren hanya mengambil satu jenis obeng untuk membetulkan pintu tersebut. King merasa heran. Mengapa hanya perlu satu obeng kok Paman Oren harus membawa-bawa ”kotak perkakas” yang sangat berat.

”Ya; tapi Stevie,” kata Paman Oren melihat keheranan King, ”aku tidak tahu apa lagi yang akan kutemukan begitu aku sampai di sini. Yang paling tepat adalah aku membawa semua peralatan itu. Jika tidak, kau biasanya akan menemukan sesuatu yang tidak kauharapkan dan jadi kecewa.” Dari pengalaman pada masa kecilnya itu, King kemudian menulis: ”Aku ingin menyarankan bahwa untuk menghasilkan tulisan terbaik—sesuai dengan kemampuanmu—kau harus menyediakan kotak perkakasmu sendiri dan kemudian mengerahkan seluruh tenagamu agar kau bisa mengangkat kotak perkakas itu. Selanjutnya, bukannya melihat betapa sulitnya pekerjaan yang harus kau lakukan dan menjadi tidak bersemangat, sebaiknya kau segera mengambil peralatan yang tepat dan langsung mulai bekerja.”

Salah satu peralatan penting menulis yang harus ada di ”kotak perkakas”-menulis, menurut King, adalah kosakata. Saya menamakannya dengan kekayaan bahasa. Seorang penulis mungkin sudah memiliki banyak teknik menulis. Hanya teknik-teknik menulis itu tidak akan bermanfaat—misalnya untuk mengatasi problem teknis menulis—jika dia tak memiliki kekayaan bahasa. Menulis adalah mengeluarkan sesuatu dari dalam diri—baik itu berupa pengalaman, pengetahuan, atau gagasan—dengan bantuan kata-kata. Jika seorang penulis miskin bahasa atau kata-kata, dia akan kesulitan mengeluarkan dan merumuskan gagasannya. Bagaimana agar kita kaya kata-kata? Kuncinya adalah dengan rajin membaca teks-teks yang ”bergizi”.

Selain kosakata, saya mengusulkan dua peralatan lagi yang harus tersedia di ”kotak perkakas”: mengikat makna dan pemetaan pikiran (mind mapping). Mengikat makna adalah sebuah konsep yang saya temukan untuk membuat kegiatan membaca seseorang menjadi efektif dan kegiatan menulisnya pun akan menjadi mudah dan lancar. Inti konsep mengikat makna adalah ”membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca”. Sementara itu, pemetaan pikiran adalah sebuah cara untuk mengembangkan ide dan menemukan ide yang tidak biasa. Pemetaan pikiran, yang ditemukan oleh Tony Buzan, kemudian dikembangkan oleh Dr. Gabriele L. Rico menjadi teknik ”clustering”. Teknik ”clustering” ini sangat berguna untuk menjalankan kegiatan menulis yang alamiah.

Teknik Menulis Bebas

Kata-kata Rhenald Kasali yang saya kutip di paling awal tulisan ini, saya peroleh dari artikel-menariknya di Kompas edisi Selasa, 20 April 2010. Judul artikel itu ”Orang Pintar Plagiat”. Bagaimana agar kita dapat menuliskan sesuatu yang ”original” yang berasal dari pikiran kita sendiri? Gunakanlah teknik menulis bebas (free writing) ketika Anda sedang berlatih menulis atau menjalankan kegiatan awal menulis. Ada tiga tokoh yang saya rujuk terkait dengan teknik menulis bebas. Pertama, Natalie Goldberg. Natalie adalah instruktur menulis bebas yang sangat terkenal di Amerika Serikat. Kedua, Peter Elbow. Elbow adalah profesor bahasa dan Direktur Program Menulis di Universitas Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat. Dan ketiga, Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog peneliti yang meneliti tentang kegiatan menulis yang dapat menyembuhkan.

Sebagaimana telah saya tunjukkan di bagian sebelum ini, Natalie menulis buku berjudul Writing Down the Bones: Freeing the Writer Within (1986). Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2005 dengan judul Alirkan Jati Dirimu: Esai-Esai Ringan untuk Meruntuhkan Tembok-Kemalasan Menulis. Natalie, dalam bukunya, memang tak hanya mengajarkan kepada kita bagaimana menulis bebas. Dia meminta kepada siapa saja yang menggunakan tekniknya untuk kemudian menemukan jati dirinya selama menulis bebas. Bagi saya, mengalirkan jati diri identik dengan mengalirkan sesuatu yang “original” yang berasal dari diri kita.

Berbeda dengan Natalie, Elbow lebih menekankan bagaimana seorang penulis dapat meraih kenyamanan terlebih dahulu ketika ingin memulai kegiatan menulis. Kenyamanan menulis sangat penting untuk diraih di awal sebelum seorang penulis berhasil mengeluarkan ide-ide hebatnya. Dalam bukunya, Writing without Teachers (terbit pertama kali pada 1973 dan kemudian direvisi pada 1998)—edisi revisi karya Elbow sudah diterjemahkan pula dengan judul Merdeka dalam Menulis (2007)—Elbow menginginkan agar seseorang, ketika mengawali menulis, bagaikan sedang menyampaikan sesuatu secara lisan (berbicara). Teknik menulis bebasnya ini ingin mengajak setiap penulis untuk tidak buru-buru mengoreksi apa yang sudah berhasil dikeluarkannya secara tertulis.

Nah, lewat risetnya, Dr. Pennebaker menemukan bahwa kegiatan menulis yang sangat bebas (”opening up” atau blak-blakan) dapat membantu seseorang untuk mengatasi tekanan hebat (depresi). Riset Dr. Pennebaker kemudian dibukukan pada tahun 1990. Saya pernah mmepraktikkan saran Dr. Pennebaker ini untuk “membuang”—dengan memanfaatkan kegiatan menulis—seluruh materi yang menggangu pikiran saya. Materi atau “sampah” pikiran itu saya keluarkan secara mencicil dan setiap kali selesai (karena lelah), saya berhenti dan tidak membaca materi tersebut. Saya biasa mengendapkannya sehari. Materi “sampah” itu saya baca dengan cara menyeleksi (bukan mengoreksi). Saya membuang yang tidak perlu dan kemudian mengumpulkan materi—di antara tumpukan materi “sampah”—yang benar-benar sangat penting dan berharga bagi diri saya.

Efek yang saya rasakan dalam menjalankan kegiatan menulis dengan teknik “opening up” ini luar biasa! Pada tahun 2001 hingga 2005, ketika usia saya melewati angka 44, saya dapat membuat buku sebanyak 24 judul. Jika dipukul rata, setiap dua bulan sekali, lahirlah satu buku karya saya. Bukan hasil yang banyak dan cepat itu yang ingin saya banggakan di sini. Lewat pemanfaatan teknik ”opening up”, saya dapat membebaskan diri saya dari segala “penjara” aturan menulis—ketika saya ingin memulai menulis. Aturan menulis tentu baik-baik saja dan dapat memandu kita untuk menghasilkan tulisan yang baik. Hanya jika aturan menulis itu kemudian berubah menjadi kerangkeng—menjadikan kita ragu-ragu dalam mengeluarkan pikiran kita—tentulah itu dapat membuat diri kita impoten (tidak mampu) menulis.[]

BacaSelengkapnya...

Quantum Teaching (2)

4 Kuadran Pembelajaran ala
“Accelerated Learning”
Oleh Hernowo


Perlakukanlah orang lain sebagaimana semestinya,
maka Anda sesungguhnya sedang membantu
mewujudkan berbagai potensi mereka.
GOETHE



Pertama kali saya mengenal konsep accelerated learning (AL) dari buku karya Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning. Menurut Quantum Learning, penemu konsep AL adalah Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”. Lewat “suggestology”, Dr. Lozanov kemudian menegaskan bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apa pun akan memberikan sugesti positif ataupun negatif.
Beberapa teknik yang digunakan oleh Lozanov untuk memberikan sugesti positif, misalnya, adalah mendudukkan pembelajar secara nyaman (tanpa ada ancaman dan tekanan sedikit pun), memasang musik latar di dalam kelas (musik akan mengurangi stres, meredakan ketegangan, meningkatkan energi, dan memperbesar daya ingat), meningkatkan partisipasi individu (kegiatan belajar, apa pun bentuknya, berasal atau berakar pada pembelajar bukan pengajar), menggunakan poster-poster untuk memberikan kesan besar sambil menonjolkan diri (fokus dan menganggap sesuatu itu penting dan berarti akan menarik perhatian otak), dan menyediakan pengajar-pengajar yang-terlatih-baik dalam seni pengajaran sugestif (kata-kata sangat menentukan pembangunan suasana belajar yang kondusif).

AL sendiri identik dengan konsep-konsep yang dikembangkan oleh Lozanov yang bernama “suggestology” ini. Bahkan dalam perjalanan konsep ini selanjutnya, akhirnya “Bapak Accelerated Learning” disematkan kepada Lozanov. AL atau pemercepatan belajar kemudian didefinisikan sebagai sebuah pengondisian kegiatan belajar-mengajar yang memungkinkan para pembelajar untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Salah satu buku yang pertama kali memopulerkan AL ditulis oleh Colin Rose dan Malcom J. Nicholl, Acceletared Learning for the 21st Century. Rose kemudian lebih mempraktiskan buku ini menjadi buku yang membangkitkan semangat belajar, M.A.S.T.E.R It Faster (diindonesikan menjadi K.U.A.S.A.I Lebih Cepat).
Buku lain tentang AL yang sangat menekankan musik ditulis oleh murid Lozanov sendiri, Stephanie Merritt, Simfoni Otak. Dan, akhirnya, Dave Meier kemudian membuat sebuah konsep AL untuk keperluan sebuah pelatihan. Buku Meier berjudul The Accelerated Learning Handbook. Secara kreatif, Meier mengembangkan konsep AL milik Lozanov menjadi sebuah cara untuk melatih SDM perusahaan-perusahaan besar dengan memanfaatkan whole brain (bagaimana sistem pelatihan dapat melibatkan seluruh komponen otak para peserta pelatihan sehingga sebuah pelatihan dapat lebih dipercepat waktunya). Melalui “Accelerated Learning Training Methods Workshop”—yang konsep-konsepnya dijabarkan secara menarik dan detail di bukunya, The Accelaretd Learning Handbook—Meier menciptakan istilah SAVI (Somatis-Auditori-Visual-Intelektual). SAVI adalah metode pelatihan yang diharapkan dapat menggerakkan seluruh otak (whole brain).

Whole Brain: Belajar dengan Seluruh Otak?
Adalah Paul E. Dennison dan Gail E. Denisson yang membuka cakrawala kita bahwa otak baru akan beranjak apabila fisik bergerak. Paul dan Gail kemudian menulis buku berjudul Brain Gym. Gerakan-gerakan (senam) yang diciptakan oleh Paul dan Gail untuk membuat otak dapat bergerak ini kemudian diberi catatan penting oleh Carla Hannaford, Ph.D., dalam bukunya yang mencerahkan, Smart Moves: Why Learning is not All in Your Head. “Setiap gerakan adalah kejadian sensoris-motoris, yang berkaitan dengan pemahaman kita akan dunia fisik,” tulis Carla sebagaimana dirujuk oleh Jalaluddin Rakhmat dalam Belajar Cerdas, “dunia tempat semua pembelajaran berasal. Gerakan kepala mengarahkan organ sensoris kita (mata, telinga, hidung, dan lidah) terhadap masukan dari lingkungan. Gerakan halus pada mata memungkinkan kita melihat jarak jauh, mempersepsi benda tiga dimensi, mencerap sekeliling dan memerhatikan huruf-huruf kecil di halaman buku. Gerakan lembut pada tangan memungkinan kita menyentuh dan memanipulasi dunia kita dengan cara-cara yang amat luar biasa kompleksnya.” Intinya, betapa penting menggerakan tubuh ketika belajar agar komponen-komponen otak, yang menyimpan saraf-saraf halus, dapat bergetar.
Sebuah buku berjudul Keep Your Brain Alive mengusulkan istilah menarik: neurobics. Lagi-lagi buku ini menekankan betapa pentingnya gerakan untuk membangkitkan seluruh komponen otak. Buku ini ditulis oleh Lawrence C. Katz dan Manning Rubin. Katz adalah pakar neurobiologi di Duke University Medical Center yang memusatkan perhatian pada riset tentang perkembangan otak. Sementara itu, Rubin adalah Senior Creative Supervisor di K2 Design di New York City dan penulis buku 60 Ways to Reliev Stress in 60 Seconds. Di dalam buku yang menarik ini, kedua penulis menyarankan sebuah cara belajar yang efektif dengan mengaktifkan seluruh komponen otak. Agar informasi yang diserap oleh otak dapat lebih banyak dan lebih melekat ketika kegiatan belajar berlangsung, ada perlu banyak rangsangan kepada otak.
Sebagai contoh, seseorang sedang menjalankan kegiatan belajar untuk memahami sekuntum mawar. Apabila orang tersebut hanya melihat mawar tersebut, tentulah dia hanya mengaktifkan sejumlah kecil jalur saraf di dalam kulit otak visual. Tetapi, apabila selain melihat sekuntum mawar, orang tersebut juga membaui dan kemudian menyentuh mawar tersebut secara bersamaan, akan terbentuklah jalur yang lebih kaya yang menuju ke sel-sel saraf otak. Hubungan asosiatif antara rangsangan indra ini membantu sekali untuk mengingat secara lebih tajam dan dalam waktu lebih lama pula. Jadi, sebuah konsep atau petunjuk yang sedang dipelajari oleh seseorang akan memberikan efek pembelajaran yang luar biasa apabila dapat disajikan dengan pelbagai cara sehingga seluruh area otak sang pembelajar dapat terangsang dan menangkap bagian-bagian yang sedang dipelajarinya.


Temuan Roger Sperry yang mengabarkan kepada kita bahwa otak yang kita miliki terdiri atas dua macam, yaitu belahan otak kiri dan kanan, dapat juga kita fungsikan ketika kita belajar agar yang kita pelajari ditangkap oleh dua bukan satu macam otak. Menurut Sperry, fungsi otak kiri berbeda 180 derajat dengan otak kanan. Dr. Taufiq Pasiak, dalam Unlimited Potency of the Brain, menunjukkan perbedaan cara berpikir otak kiri dan otak kanan. Otak kiri cenderung berpikir linear, yaitu selektif, satu arah, analitis, berurutan, tepat pada tiap langkah (kaku), memusatkan perhatian, ada kategorisasi dan klasifikasi, mengikuti jalur yang paling tepat, dan prosesnya terbatas. Sementara itu, otak kanan cenderung berpikir lateral (sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Edward de Bono), yaitu generatif, berbagai arah, provokatif, membuat lompatan, tidak harus tepat (fleksibel), menerima semua kemungkinan, tidak ada kategorisasi, menjelajahi yang paling tidak tepat, dan prosesnya masuk dalam serba mungkin.
Apabila, ketika belajar, dua macam otak tersebut dapat difungsikan secara bersamaan, ada kemungkinan proses penyerapan informasi akan berlangsung lebih utuh. Cara kerja dua macam otak ini dapat kita simulasikan secara sederhana ketika seseorang menerima atau menyerap potongan lirik lagu. Teks dari lirik lagu tersebut diterima oleh otak kiri, sementara irama yang berdendang bersama pembacaan lirik lagu tersebut diterima oleh otak kanan. Dalam konteks yang tidak disadari secara penuh, seseorang akan mudah mengingat kata-kata dalam lirik lagu tersebut ketika irama musiknya diperdengarkan. Dia akan kesulitan mengingat kata-kata dalam lirik lagu tersebut apabila tidak disertai irama yang berdendang. Proses mengingat yang hebat itu terjadi karena dua belahan otak tersebut bekerja dan saling membantu.
Dave Meier, lewat Accerated Learning Handbook memperkenalkan metode SAVI untuk membuat kegiatan belajar dapat merangsang seluruh area otak. SAVI ini dikembangkan dari tiga komponen utama dalam modalitas (cara terbaik seseorang belajar) yang terdiri atas auditori (telinga), visual (mata), dan kinestetis (Meier menyebutnya dengan istilah somatis untuk menunjukkan komponen fisik/raga atau gerakan), lantas ditambah satu komponen lagi berupa ”I” (intelektual atau perenungan) sehingga menjadi SAVI. “Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri dan bergerak ke sana-kemari,” tulis Dave Meier. “Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar pada pembelajaran. Saya namakan ini belajar SAVI.”
Salah satu hal penting yang disampaikan oleh Meier ketika memperkenalkan pendekatan SAVI dalam belajar adalah tentang ketidakterpisahan antara tubuh dan pikiran. “Tubuh dan pikiran itu satu,” tegas Meier. Penelitian neurologis telah membongkar keyakinan kebudayaan Barat yang keliru bahwa pikiran dan tubuh adalah dua entitas yang terpisah. Temuan mereka menunjukkan bahwa pikiran tersebar di seluruh tubuh. Intinya, tubuh adalah pikiran. Pikiran adalah tubuh. Keduanya merupakan satu sistem elektris-kimiawi-biologis yang benar-benar terpadu. Jadi, dengan menghalangi pembelajar somatis menggunakan tubuh mereka sepenuhnya dalam belajar, kita menghalangi fungsi pikiran mereka sepenuhnya.
Agar seluruh area otak terlibat dalam kegiatan belajar, kita juga dapat menggunakan konsep multiple intelligences (MI)-nya Howard Gardner. Menurut Gardner, kecerdasan merupakan kumpulan kepingan kemampuan yang ada di beragam otak. Semua kepingan ini saling berhubungan, tetapi juga bekerja sendiri-sendiri. Temuan Gardner ini didasarkan pada penelitian para pakar otak (neurolog) bahwa otak manusia itu terdiri atas area-area atau kepingan-kepingan. Dan yang terpenting, mereka tidak statis atau ditentukan saat lahir. Seperti otot, kecerdasan dapat berkembang sepanjang hidup asal terus dibina dan ditingkatkan. Gardner memang menggunakan istilah kecerdasan untuk menunjukkan potensi yang ada di dalam setiap area otak yang terdeteksi.
Ada setidaknya sembilan potensi kecerdasan yang ditemukan Gardner di dalam otak kita. Kesembilan kecerdasan itu adalah SLIM-n-BIL ditambah satu kecerdasan bernama kecerdasan eksistensial (bagaimana seseorang mencari dan menemukan makna hidup). Kedelapan kecerdasan lain, mengikuti SLIM-n-BIL adalah kecerdasan Spasial atau visual, Linguistik, Intrapersonal, Musik, Naturalis atau alam, tubuh atau Body, Interpersonal, dan Logika atau matematika. Apabila kegiatan belajar ingin dapat membuat kesembilan kecerdasan tersebut terstimulasi, kegiatan belajar tersebut perlu disampaikan dengan kesembilan cara yang cocok dengan cara kerja masing-masing kecerdasan tersebut. MI memberikan alarm bahwa menyampaikan sesuatu kepada audiens—agar diperhatikan audiens—tak cukup jika hanya bicara atau ngomong doang. Setidaknya gunakanlah gerakan atau gambar atau dikombinasikan dengan musik (irama), keterlibatan audiens, dan juga perenungan.

Implementasi Accelerated Learning
Dave Meier menggunakan siklus empat tahap dalam menerapkan AL dalam sebuah pelatihan. Menurut Meier, proses empat tahap yang sederhana ini bersifat universal, dan dapat diterapkan untuk melakukan kegiatan belajar apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Proses ini dapat diterapkan pada bayi yang belajar bermain dengan mainannya, anak yang belajar naik sepeda, remaja yang belajar bahasa asing, orang dewasa yang belajar menari, orang yang belajar komputer, pegawai yang belajar menjadi manajer sukses. Pokoknya semuanya.
Menurut Meier, empat tahap kegiatan belajar dalam konteks AL itu adalah preparation (persiapan), presentation (penyampaian), practice (pelatihan), dan performance (penampilan hasil). Masing-masing dalam keempat tahap ini memiliki sebuah hubungan yang khas antara sang pemberi materi dan sang penerima materi. Pada tahap pertama, persiapan, sang pemberi materi sangat dominan bahkan seakan-akan ketika berlangsung kegiatan belajar-mengajar, dia sendirilah yang ada di dalam ruangan tersebut. Pada tahap kedua, penyampaian, peran sang pemberi materi sudah tidak dominan lagi karena di dalam ruangan ada sang penerima materi meskipun perannya masih sangat kecil. Pada tahap ketiga, pelatihan, peran sang penerima materi semakin besar dan sang pemberi materi semakin kecil. Akhirnya, pada tahap keempat, penampilan hasil, yang ada di ruangan hanya sang penerima materi. Sementara itu, sang pemberi materi minggir untuk memberi kesempatan kepada para penerima materi untuk menampilkan hasil-hasil yang diperolehnya selama belajar.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa pelatihan konvensional cenderung menekankan Tahap Penyampaian (Tahap Kedua) di atas semua tahap lain dalam siklus belajar. Misalnya, ketika merancang suatu program belajar kita sering mencurahkan 80% atau bahkan lebih dari seluruh usaha, uang, dan waktu kita untuk menyusun materi presentasi (buku kerja siswa, presentasi PowerPoint, program komputer, dan semacamnya). Padahal, Tahap Penyampaian paling-paling menyumbang 20% bagian pembelajaran. Dan itu nyaris tidak ada gunanya sama sekali, kecuali jika didahului Tahap Persiapan dan diikuti Tahap Pelatihan dan Penampilan Hasil yang sehat dan tepat.
Di bawah ini adalah penjelasan secara ringkas apa yang harus dilakukan oleh seorang pengajar ketika ingin menyampaikan sebuah materi di hadapan para pembelajar dengan mengikuti keempat tahap tersebut. Tentu penjelasan ini tidak lengkap. Saya mencupliknya dari buku The Accelerated Learning Handbook karya Dave Meier, khususnya di Bab VI “Ringkasan Empat Tahap”. Bagi yang ingin memahami lebih luas dan jauh, saya menganjurkan untuk membacanya di buku Meier tersebut. Dalam buku Meier, setelah Bab VI, yaitu Bab VII dan seterusnya, setiap tahap dari empat langkah tersebut dibahas dalam setiap bab disertai contoh-contoh yang sangat praktis dan memberikan inspirasi.
Tahap Pertama: Persiapan. Tujuan tahap ini adalah untuk menimbulkan minat para pembelajar. Tahap ini juga harus dimanfaatkan oleh pengajar untuk memberi kepada semua peserta perasaan positif mengenai pengalaman belajar yang akan datang. Selanjutnya, setelah pembangkitan minat dan pengondisian dengan membangun emosi positif, pengajar perlu menempatkan mereka dalam situasi optimal untuk belajar. Apa yang dianjurkan untuk dilakukan seorang pengajar sebagaimana ditunjukkan di atas, dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini: memberikan sugesti positif, memberikan pernyataan yang memberikan manfaat kepada pembelajar, serta memberikan tujuan yang jelas dan bermakna akan kegiatan pelatihan yang akan diselenggarakan.
Cara-cara lain yang dapat dilakukan pada tahap pertama ini adalah, misalnya, membangkitkan rasa ingin tahu, menciptakan lingkungan fisik yang positif, menciptakan lingkungan emosional yang positif, menciptakan lingkungan sosial yang positif, menenangkan rasa khawatir atau cemas, menyingkirkan hambatan-hambatan belajar, banyak bertanya dan mengemukakan banyak masalah, merangsang para peserta untuk mengaitkan materi dengan pengalaman yang sudah ada di dalam dirinya, serta mengajak para peserta untuk terlibat secara penuh dan aktif sejak awal.
Tahap Kedua: Penyampaian. Tujuan tahap kedua ini adalah membantu pembelajar menemukan materi belajar yang baru dengan cara yang menarik, menyenangkan, relevan, melibatkan pancaindra, dan cocok untuk semua gaya belajar. Seorang pengajar dapat melakukan hal-hal tersebut dengan cara, misalnya, berbagi pengetahuan, mengamati fenomena dunia nyata, melibatkan seluruh otak-seluruh tubuh, menyampaikan presentasi yang atraktif, menampilkan grafik presentasi yang warna-warni, menggunakan pelbagai macam cara sehingga dapat diadopsi oleh banyak gaya belajar, memberikan peluang kepada peserta untuk menemukan sendiri baik secara sendiri-sendiri ataupun bekerja sama, dan menggunakan problem-solving method.
Tahap Ketiga: Pelatihan. Tujuan tahap ketiga ini adalah membantu pembelajar mengintegrasikan dan menyerap pengetahuan dan keterampilan baru dalam berbagai cara. Seorang pengajar dapat melakukan hal ini dengan cara, misalnya, menggunakan renungan atau umpan balik, membuat simulasi dunia nyata, peserta melakukan permainan dalam belajar, merangsang peserta agar menggunakan artikulasi individu, menciptakan dialog secara berpasangan atau berkelompok, mendorong peserta untuk mencoba melakukan kegiatan-kegiatan praktis guna membangun keterampilan, mengajar balik (peserta menyampaikan apa yang dipahaminya selama tahap pertama dan tahap kedua), serta memberikan pengajaran dengan sebuah tinjauan yang bersifat kolaboratif (dikaitkan dengan keberadaan para peserta).
Tahap Keempat: Penampilan Hasil. Tujuan tahap keempat ini adalah membantu pembelajar menerapkan dan memperluas pengetahuan atau keterampilan baru mereka pada situasi dunia nyata sehingga hasil belajar akan melekat dan penampilan hasil akan terus meningkat. Seorang pengajar dapat melakukan hal-hal tersebut dengan cara, misalnya, memberikan contoh penerapan konsepnya atau mendorong agar peserta melakukan sesuai dengan yang dipahaminya, peserta diminta menciptakan sesuatu dan mendemonstrasikannya, serta bagaimana agar yang sudah dipelajari dapat dibawa ke luar ruang kuliah—misalnya ketika mahasiswa yang ber-KKN (kuliah kerja nyata). “Jika apa yang dipelajari tidak diterapkan, berarti tidak ada pembelajaran,” demikian kesimpulan penutup dari tahap keempat atau terakhir ini. Belajar adalah proses mengubah pengalaman menjadi pengetahuan, pengetahuan menjadi pemahaman, pemahaman menjadi kearifan, dan kearifan menjadi tindakan.[]



BacaSelengkapnya...

Quantum Teaching (1)

”Contextual Teaching and Learning” (CTL):Strategi 
Belajar-Mengajar untuk Mengaitkan Materi Kuliah dengan Dunia Nyata
Oleh Hernowo

“Ketika seorang mahasiswa dapat mengaitkan isi dari matakuliah—seperti matematika, sosiologi, atau sejarah (content)—dengan pengalaman mereka sendiri (context), mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar.” (Elaine B. Johnson)


Ada banyak sekali rumusan tentang contextual teaching and learning (selanjutnya disingkat CTL). Anda dapat memperoleh rumusan-rumusan tersebut melalui Internet atau buku-buku yang membahas CTL. Ketika penerbit yang saya kelola, Penerbit MLC, memilih buku tentang CTL yang ingin diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, pilihan pun jatuh ke buku karya Elaine B. Johnson, Ph.D. (Buku Elaine inilah yang menjadi pijakan saya dalam menulis makalah sederhana ini.)

Salah satu alasan mengapa Penerbit MLC memilih buku karya Elaine adalah karena Elaine mengaitkan CTL dengan kebermaknaan—sesuatu yang memang penting dan berharga bagi seseorang. Dalam Bab 2, catatan kaki nomor 3, di buku Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Corwin Press Inc., 2002), Elaine menulis (setelah dia mengumpulkan pelbagai pembahasan dan rumusan tentang CTL): “Dari beragam pendekatan terhadap CTL ini, muncul beberapa kesamaan: penerapan pengetahuan; tingkat pemikiran yang lebih tinggi; penilaian autentik; dan kerja sama. Anehnya, makna bukanlah hal pokok dalam diskusi-diskusi ini. Untuk saya, makna justru sangat penting”.

Elaine B. Johnson adalah doktor dalam bidang sastra Inggris. Dia salah seorang penulis dari empat seri buku teks pengajaran dan pembelajaran kontekstual untuk kelas 9 hingga 12 yang berjudul Literature for Life and Work (1997). Dia telah memberikan ratusan presentasi dan lokakarya kepada para guru Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas dan pengelola pendidikan di seluruh penjuru negeri di Amerika.
Elaine telah menerima banyak penghargaan atas metode mengajar yang dikembangkannya. Di antara pelbagai penghargaan yang diterimanya adalah Charles Wright Academy Inspirational Faculty Award, mendapat gelar Honorary Fellow dari Huron College, dan penghargaan dari University of Chicago atas metode mengajarnya yang luar biasa. Pengalamannya yang sedemikian luas memungkinkannya bereksperimen dengan berbagai strategi mengajar yang akhirnya berubah menjadi CTL.

Ihwal Makna dalam CTL
Dalam buku Mengikat Makna untuk Remaja (MLC, 2004), saya menunjukkan kepada para pembaca buku saya bahwa makna adalah “sesuatu yang berdesir di hatimu, hal-hal yang membuatmu melayang”. Tidak mudah untuk menyampaikan definisi makna kepada para remaja. Makna bersifat sangat pribadi dan sesuatu yang bermakna bagi seseorang belum tentu bermakna bagi orang lain. Yang jelas, di dalam sesuatu yang bermakna tentulah ada hal-hal yang membuat seseorang terkesan, tidak mudah dilupakan, dan memunculkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak dirasakan.
 

Bagaimana menemukan sebongkah makna dalam kegiatan belajar-mengajar? Mungkinkah matakuliah matematika atau ekonomi menghadirkan makna? Apakah mengisahkan sejarah pertumbuhan ekonomi di zaman Orde Baru dapat membuat seorang mahasiswa terkesan sehingga muncul keinginannya untuk memahami secara detail? Apakah makna yang perlu diraih di perguruan tinggi sama dengan makna yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Bukankah makna ini terkait dengan diri pribadi, dan bagaimana menjelaskannya kepada para mahasiswa yang memiliki latar belakang yang sangat berbeda dan beragam?
Dalam Brain-Based Learning (The Brainstore, 2000), Eric Jensen menunjukkan dua tipe makna, yaitu makna-yang-dirumuskan (reference meaning) dan makna-yang-dihayati (sense meaning). Makna tipe pertama adalah makna yang ada di buku-buku, sedangkan makna tipe kedua adalah makna yang tercipta karena dikontekskan atau dikaitkan dengan kehidupan yang luas dan nyata. Dalam bahasa Jensen, kedua tipe makna tersebut dijelaskan sebagai berikut:
 

“Makna yang pertama (reference meaning) adalah semacam petunjuk, definisi dari kamus, yang mengacu ke wilayah leksikal sebuah kata. Misalnya, jas hujan adalah ‘pakaian berukuran besar yang anti-air atau pakaian yang terbuat dari plastik.’ Sementara itu, makna yang kedua (sense meaning) dari jas hujan, bisa jadi, amatlah berbeda. Meskipun saya tahu jas hujan, secara pribadi jas hujan itu tidak begitu berarti bagi saya karena saya tinggal di daerah yang jarang turun hujan. Saya punya jas hujan, namun jarang saya gunakan dan hanya memenuhi lemari saya.
 

“Coba bandingkan makna-yang-dirumuskan tentang jas hujan tersebut dengan makna-yang-dihayati yang mungkin dimiliki seseorang yang tinggal di daerah yang sering turun hujan. Bisa jadi, jas hujan milik orang yang tinggal di daerah hujan itu tidak hanya melindunginya dari cuaca yang tidak bersahabat, tetapi ia menjadi teman akrab yang menjaga kesehatannya. Ia juga melindungi pakaian rapinya yang menyebabkannya banyak menerima pujian.”
 

Merujuk ke rumusan makna yang dibuat Eric Jensen, tampaknya makna yang ingin dihadirkan oleh CTL adalah makna yang tidak sekadar ada di dalam buku-buku. Makna yang ada di dalam buku harus diperluas dan diperkaya hingga ke konteksnya yang tepat. Salah satu cara untuk membuat sebuah matakuliah, yang diajarkan kepada para mahasiswa, bermakna adalah dengan mengaitkan mata pelajaran tersebut dengan pengalaman sehari-hari sang mahasiswa atau menghubungkannya dengan keadaan lingkungan tempat para mahasiswa itu tumbuh dan berkembang.
 

Dalam buku Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual (MLC, 2005), saya menggunakan teori “multiple intelligences” (MI) temuan Howard Gardner untuk menemukan makna dalam sebuah kegiatan belajar-mengajar. Bagi saya, MI dapat menunjukkan keunikan setiap individu yang belajar. MI adalah cara masing-masing individu belajar sesuai dengan kekhasan-kekhasan yang dimilikinya. Di samping semua itu, MI juga membuka cakrawala saya untuk menemukan ilmu yang bermanfaat bagi sebuah kehidupan. (Dalam buku saya itu, saya menyebut ilmu yang bermanfaat sebagai “cahaya”—ilmu itu dapat menerangi dan membantu seseorang [yang memiliki ilmu tersebut] untuk menjalani kehidupan yang, secara terus-menerus, membaik.)
 

Melalui MI, saya mengaitkan sebuah matakuliah dengan seorang tokoh yang sukses. Misalnya, saya akan mengajarkan matakuliah Bahasa Indonesia. Maka, saya akan mengaitkan materi yang akan saya ajarkan dengan seorang tokoh yang sukses dalam menggunakan atau mempraktikkan Bahasa Indonesia. Sebuah pembelajaran akan efektif dan menyentuh diri anak didik apabila ada “model”. Dengan menghadirkan seseorang yang dapat dijadikan “model” atau teladan, proses pembelajaran itu pun terhindar dari kegiatan belajar-mengajar yang abstrak.
 

Menurut, Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence (Bantam Books, 1996), ada sebuah potensi di dalam diri manusia yang dapat membantunya untuk mengenali diri dan memahami orang lain. Potensi itu bernama EQ (kecerdasan emosi). Saya telah membahas secara panjang lebar soal peran emosi dalam membantu mengenali diri ini dalam buku saya yang berjudul Bu Slim dan Pak Bil Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi (MLC, 2005). Nah, salah satu peran emosi adalah memberi arti (lihat Jensen, Brain-Based Learning). Emosi—yang terletak di otak tengah (midbrain) dan dikendalikan oleh lymbic system yang bekerja sama dengan sebuah organ bernama amygdala—dapat membantu seseorang untuk mengaitkan hal-hal yang berada di luar diri dengan diri-terdalam (inner self)-nya. Jadi, untuk dapat menerapkan CTL—agar kegiatan belajar-mengajar itu bermakna—pengetahuan tentang emosi dan bagaimana melatih emosi sangatlah penting.

Tentang Pentingnya Mengaitkan
Dalam mengantarkan buku karya Elaine, Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengatakan, “CTL di Amerika Serikat bermula pada awal abad ke–21 ketika para pendidik menolak dualisme ihwal pikiran-tindakan, otak-gerak, fisik-psikis, konkret-abstrak, teoretis-aplikatif, dan sejenisnya. Dualisme ini sangat tidak produktif, karena makna yang sejati adalah makna keseluruhan yang tidak dapat dipreteli dengan alasan spesialisasi kepakaran para penulis buku atau pengembang kurikulum.” Untuk mengatasi dualisme itulah CTL menawarkan adanya keterkaitan, sebagaimana hal itu digambarkan dengan bagus oleh John Dewey:
 

“Sebuah delman tidaklah terlihat sebagai delman sebelum semua bagiannya terpasang; hubungan khas antara bagian-bagiannya itulah yang menjadikannya sebuah delman. Dan hubungan-hubungan tersebut bukan hanya keterkaitan fisik belaka; hubungan-hubungan tersebut melibatkan hubungan dengan hewan-hewan yang menariknya, benda-benda yang diangkutnya, dan seterusnya.”
Lantas, dalam Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (Free Press, 1966), sekali lagi Dewey menunjukkan hal-hal penting soal keterkaitan tersebut, “Hanya di dalam pendidikan—bukan di dalam kehidupan para petani, pelaut, pedagang, dokter, ataupun peneliti laboratorium—pengetahuan berarti penyimpanan informasi yang tidak terkait dengan melakukannya.” Dalam bahasa yang lain, Dewey ingin menunjukkan bahwa pendidikan itu seharusnya memadukan atau mengaitkan teori dengan praktik (menerapkan teori tersebut di lapangan), bukan memisahkannya.
 

Menurut Elaine, pandangan Dewey itu selaras dengan pandangan-mutakhir para ahli biologi, psikologi, dan neurologi. Fritjof Capra, misalnya, mengatakan, “Bagian-bagian itu dapat dimengerti hanya di dalam konteks keseluruhan yang lebih besar. Dunia tempat kita hidup adalah suatu jaringan antarhubungan-hubungan.” Akhirnya, dari asas keterkaitan itu muncullah tiga prinsip CTL, yaitu
(1) interdependence (kesalingbergantungan),
(2) differentiation (keberbedaan atau ketidakmiripan), dan
(3) self-organization (pengorganisasian-diri). Inilah juga prinsip-prinsip alam. 
     Jadi, CTL selaras dengan kehidupan alam.
 

Bagaimana agar seseorang yang sedang belajar dapat menjalankan proses pengaitan? Pertama, seorang pengajar perlu mengubah persepsinya terhadap para muridnya yang mungkin selama ini mereka, para murid itu, dianggap sebagai “wadah”—misalnya saja “cangkir”—yang harus menampung apa saja yang diberikan atau dituangkan oleh sang pengajar. Para murid, untuk keperluan CTL, harus dianggap sebagai makhluk hidup yang aktif dan dapat mengolah apa saja yang masuk ke dalam dirinya. Alih-alih menjadi “cangkir”, mahasiswa harus menjadi ”tanaman” yang dapat menyerap dan mengolah air untuk keperluan hidupnya.
 

Kedua, berilah para murid seperangkat “alat” untuk mengonstruksi pengetahuan yang diperolehnya secara subjektif/pribadi. Salah satu “alat” yang menurut saya sangat ampuh untuk proses mengonstruksi adalah menulis. Saya memiliki konsep tentang menulis, yang berarti mengonstruksi, dengan nama “mengikat makna”. Kegiatan “mengikat makna” ini adalah kegiatan menulis yang sangat pribadi untuk mencari kaitan antara yang ditulis dengan diri orang yang menulis tersebut. Lewat “mengikat makna”, seseorang kemudian menunjukkan apa yang dipahaminya dan hal-hal apa yang mengesankannya.
 

Ketiga, membalik banyak hal berkaitan dengan proses kegiatan belajar-mengajar. Hal ketiga ini saya sandarkan pada pernyataan Tony Buzan, penemu metode “mind map”. Buzan mengatakan, “Dalam bentuk pendidikan yang baru, penekanan pendidikan harus dibalik. Jika tadinya berbagai fakta di luar diri seseorang yang lebih dahulu diajarkan, kita kita harus terlebih dahulu mengajarkan berbagai fakta tentang dirinya sendiri—fakta tentang cara manusia belajar, berpikir, mengingat, mencipta, dan menyelesaikan masalah.” Dalam bahasa Quantum Teaching, ini disebut sebagai “experience before labeling” (para pembelajar perlu mengalami lebih dahulu baru kemudian mereka diberitahu tentang konsep-konsep yang dialaminya itu yang telah dirumuskan oleh sebuah buku).


Bagaimana Memanfaatkan CTL
CTL akan membuat seorang pembelajar tahu secara pribadi untuk apa dia belajar sebuah matakuliah tertentu. CTL juga akan mengubah kelas-kelas yang penuh kehampaan dan kekakuan menjadi kelas-kelas yang hidup dan “berisi”. Ini dimungkinkan karena yang dituju dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL adalah sesuatu yang berharga yang membuat semua penggiat sekolah bergairah untuk meraihnya. Di samping itu, CTL juga mengajak para pengajar dan anak didiknya bertindak proaktif untuk mencari keterkaitan ketika memahami hal-hal baru.
 

Saya akan mencoba meringkaskan secara sederhana apa itu CTL. Mungkin ringkasan saya di bawah ini tidak bersifat operasional atau praktis. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk mengembangkan dan mengontekskan CTL dengan keadaan diri Anda. Ada kemungkinan, secara tidak sadar, Anda pernah menerapkan apa yang saya ringkaskan ini. Saya berharap, apabila itu membawa manfaat, teruslah dikembangkan dan diperkaya sehingga diri Anda pun ikut berkembang bersama CTL.
 

Pertama, mulailah menjalankan kegiatan belajar-mengajar dari hal-hal yang bersifat subjektif terlebih dahulu baru kemudian menuju hal-hal yang bersifat objektif. Biasanya, ketika kita ingin belajar atau mengajar, kita menggunakan pedoman atau hal-hal yang sudah tercantum di panduan atau buku. Lewat CTL, panduan atau buku itu tetap digunakan, hanya ketika ingin memulai kegiatan belajar-mengajar, kaitkan apa yang ingin kita pelajari dan ajarkan itu kepada diri pribadi kita. Misalnya, kita, sebagai dosen, ingin mengajarkan kepada anak didik kita tentang teori gravitasi. Biarkan setiap anak didik mencari terlebih dahulu siapa itu Newton dan apa kaitan teori gravitasi dengan kehidupan mereka. Dorong mereka untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentang teori gravitasi dari sumber mana pun yang ada di lingkungan mereka.
 

Kedua, gunakan kemampuan menceritakan kembali atau menulis untuk melakukan proses mengonstruksi (merumuskan secara terstruktur) pengetahuan yang dikumpulkan dari lingkungan dan pengalaman pribadinya. Anak didik bukanlah wadah yang siap diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah subjek yang aktif dan hidup yang terus ingin mencari sesuatu yang cocok dengan dirinya. Pembelajaran tidak boleh membuat mereka seragam atau sama. Kegiatan belajar-mengajar harus menjadikan diri mereka pribadi yang unik yang memiliki perbedaan-perbedaan. Biarkan mereka berpendapat atau menyuarakan isi hatinya terlebih dahulu. Rangsang mereka agar berpikir kritis dan kreatif. CTL membuat para pembelajar itu dapat menggunakan otaknya dalam tingkat yang paling tinggi.
 

Ketiga, apa pun jenis matakuliah yang diajarkan kepada, atau dipelajari oleh, pembelajar, manfaat matakuliah itu harus dapat ditunjukkan dengan jelas bagi kehidupannya saat itu. Seberat dan sesulit apa pun materi yang akan dipelajari oleh para pembelajar, apabila materi itu dapat ditunjukkan kegunaan dan kaitannya dengan dunia nyata atau pengalaman sehari-hari mereka, tentulah mereka akan mau secara habis-habisan mempelajarinya. Tujuan-tujuan dalam pembelajaran yang berbasis CTL bukanlah berupa tujuan yang dirumuskan secara hampa tanpa makna. Tujuan tersebut harus dapat dikaitkan dengan masing-masing pribadi anak didik dan kehidupan nyatanya.[]

BacaSelengkapnya...

Malam Laillatul Qadr

ini ada artikel bagus, tentang Lailatul Qadar yang bersumber dari karya Rajendra Kartawiria, Quranic Quotient Centre. Sebagian isi buku ini kemudian dipublikasikan di internet oleh Aulia Muttaqin dan beberapa sumber lainnya.
Manfaatkan malam Ramadhan untuk memperluas ilmu dan membangun keyakinan
Mengapa Ramadhan?
Dalam Islam kita mengenal adanya 4 bulan suci, yaitu Dzulka’idah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Ramadhan yang berarti panas pun tidak termasuk sebagai bulan suci. Mengapa Ramadhan dipilih untuk
puasa sebulan penuh?


Dalam ilmu astronomi, Radiasi Matahari memiliki siklus 11 tahunan. Tahun 2007 sendiri merupakan akhir dari siklus ke 23 sejak pengamatan pertama pada abad 18.



Bumi dilindungi Magnestosphere, sehingga dampak badai radiasi bukan terjadi pada sisi bumi yang menghadap matahari (siang hari).

 

Saat badai radiasi matahari datang, dampaknya terasa pada bagian bumi yang membelakangi matahari (malam hari).

 


Radiasi di malam hari mempengaruhi tingkat getaran otak.


Radiasi dan gravitasi bulan purnama meningkatkan permukaan air laut dan kehidupan makhluk laut di malam hari. Juga menarik air dalam membran otak dan lebih menggetarkan sel-sel otak. Getaran sel otak menggambarkan tingkat kesadaran dan aktivitas otak.
Umat muslim dianjurkan puasa sunnah 3 hari “shaumul biidh” pada saat terang bulan setiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan-bulan Hijriyah dan menghidupkan malam-malamnya.
Tingkat radiasi bervariasi 0-100,000 dan di skala S1-S5 oleh NOAA.

 


Berdasarkan pengamatan, radiasi sebesar 1000 MeV particles s-1 ster-1 cm-2 terjadi 10 kali dalam satu siklus 11 tahunan, atau terjadi setiap 13 bulan sekali. Radiasi sebesar 1000 MeV particles s-1 ster-1 cm-2 ini digolongkan dalam skala S3, dan mulai berbahaya bagi manusia sebesar 1 chest x-ray.
Radiasi dengan siklus 11,7 bulan (1 tahun hijriyah) adalah sebesar 800 MeV particles s-1 ster-1 cm-2.

 


Mengarah pada hipotesa malam Lailatul Qadar Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan 
(QS Al Qadr 97:3)

 


Building Block …
Siklus satu tahunan (hijriyah) bernilai 1000 x bulan purnama
Malam yang nilainya 1000 bulan purnama adalah Lailatul Qadr
Lailatul Qadr terjadi di bulan Ramadhan
Jadi siklus badai matahari yang berulang setiap satu tahunan (hijriyah) terjadi setiap bulan Ramadhan
Itulah sebabnya…
Sejarah para nabi menunjukkan bahwa mereka senang merenungkan hakekat kehidupan, bertapa, pada setiap bulan Ramadhan.
Secara umum wahyu-wahyu tentang ajaran agama yang membutuhkan tingkat pemahaman yang tinggi, banyak yang diturunkan di malam-malam bulan Ramadhan.
Penataan ayat-ayat Al Quran ke dalam surat-surat seperti yang tersaji saat ini, dilakukan Nabi Muhammad pada malam-malam bulan Ramadhan.
Umat muslim diajak untuk menghidupkan malam-malam di bulan Ramadhan
Lebih utama adalah i’tiqaf di masjid pada 10 malam terakhir, pada malam-malam sebelum dan setelah Lailatul Qadr
Energi ekstra untuk pembelajaran di bulan Ramadhan…
Untuk bisa mengaji malam Ramadhan dibutuhkan energi ekstra
Kenyataannya puasa siang hari bukanlah menyebabkan tubuh kekurangan / kehabisan energi
Justru puasa menghemat energi tubuh 10% karena tidak digunakan untuk mencerna makanan
Energi yang dihemat ini sangat membantu pemahaman pelajaran di malam hari
Three in One di bulan Ramadhan…
Efektif memahami Al Quran di malam hari
Detoksifikasi dan Manajemen Energi di siang hari
Kembali fitrah setelah berpuasa 28 hari berturut-turut
Manfaatkan malam-malam Ramadhan…
Untuk dapat dengan mudah memahami makna kehidupan secara komprehensif dan benar, manfaatkan keenceran otak di kesunyian malam Lailatul Qadr
Untuk mendapat pemahaman lebih luas, malam-malam di sekitar Lailatul Qadr juga oke (10 malam terakhir Ramadhan)
Lebih oke lagi kalau dimulai malam pertama Ramadhan, mumpung siangnya berpuasa
Hasil renungan malam ini harus dapat kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari
Nikmat hidup akan diperoleh jika kita berkontribusi positif kepada kehidupan dunia dengan berserah diri kepadaNya
Nikmat kehidupan akhirat akan diperoleh bila kita mampu selalu menikmati dan mensyukuri kehidupan dunia
sumber: http://bengawansolo.net/berita/berita-nasional/232-fakta-ilmiah-kenapa-1-malam-lailatul-qodar-lebih-mulia-dari-1000-bulan.html

BacaSelengkapnya...

Turunan Fungsi

Pembahasan limit fungsi yang telah Anda pelajari dapat dikembangkan pada pembahasan turunan fungsi
karena dengan mengetahui turunan fungsi, Anda dapat mempelajari sifat-sifat fungsi.
 Sifat-sifat fungsi tersebut misalnya, kemonotonan fungsi, ekstrim fungsi, kecukupan fungsi, dan titik balik fungsi. Di samping itu, Anda juga dapat mengaitkan turunan fungsi dengan kecepatan sesaat serta dapat menggunakan turunan fungsi untuk mempelajari aplikasi
permasalahan sederhana, seperti permasalahan berikut. Banyak minyak pelumas (selama satu tahun) yang digunakan oleh suatu kendaraan yang bergerak dengan kecepatan v km/jam memenuhi persamaan
Q (v) = - 1/45 + 2x - 20 liter.

Dengan memahami konsep turunan, Anda dapat menentukan jumlah maksimum minyak pelumas yang digunakan dalam 4 tahun.

Lebih Lengkapnya.. Ambil Materi Disini
BacaSelengkapnya...

"Kabar Gembira Buat Orang Tua"

"Orang tua akan memetik buah dari hasil jerih payahnya mendidik anak ketika anak-anaknya menjadi shalih dan shalihah.
Hasilnya bukan dapat dinikmati di dunia bahkan di alam kubur dan akhirat kelak.

Rasulullah saw bersabda :
"apabila manusia mati maka terputuslah amalnya, kecuali dari tiga perkara :shodaqoh jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo'akan untuk kedua orang tuanya.."
(H.R Muslim dari Abu Hurairah )


BacaSelengkapnya...

 
Cebong`s Notez
---- Rhana-Ku. Green World Blogger Template---- © Template Design by Herro