Belanja Buku Online

Konsultan Anda
indah elmande
Independent
Oriflame Consultant
    
Sekilas Tentang Saya
Hi, selamat datang di Boss Family.
Saya indah elmande akan membantu anda untuk ikut bergabung bersama kami.
"DAFTARKAN DIRI ANDA SEKARANG!!
http://asetvirtual.com/?aff=trisnanto
"RHANA GHAIDHA AZZAHRA"
Dilahirkan di Tangerang tanggal 09 Desember 2009 Bertepatan dengan hari
"Anti Korupsi"
Semoga anak ini menjadi anak yang Shalihah dan besar kelak menjadi salah satu pelopor pemberantasan korupsi di negeri ini

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta Barat, Jakarta, Indonesia

Quantum Teaching (1)

”Contextual Teaching and Learning” (CTL):Strategi 
Belajar-Mengajar untuk Mengaitkan Materi Kuliah dengan Dunia Nyata
Oleh Hernowo

“Ketika seorang mahasiswa dapat mengaitkan isi dari matakuliah—seperti matematika, sosiologi, atau sejarah (content)—dengan pengalaman mereka sendiri (context), mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar.” (Elaine B. Johnson)


Ada banyak sekali rumusan tentang contextual teaching and learning (selanjutnya disingkat CTL). Anda dapat memperoleh rumusan-rumusan tersebut melalui Internet atau buku-buku yang membahas CTL. Ketika penerbit yang saya kelola, Penerbit MLC, memilih buku tentang CTL yang ingin diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, pilihan pun jatuh ke buku karya Elaine B. Johnson, Ph.D. (Buku Elaine inilah yang menjadi pijakan saya dalam menulis makalah sederhana ini.)

Salah satu alasan mengapa Penerbit MLC memilih buku karya Elaine adalah karena Elaine mengaitkan CTL dengan kebermaknaan—sesuatu yang memang penting dan berharga bagi seseorang. Dalam Bab 2, catatan kaki nomor 3, di buku Contextual Teaching and Learning: What It Is and Why It’s Here to Stay (Corwin Press Inc., 2002), Elaine menulis (setelah dia mengumpulkan pelbagai pembahasan dan rumusan tentang CTL): “Dari beragam pendekatan terhadap CTL ini, muncul beberapa kesamaan: penerapan pengetahuan; tingkat pemikiran yang lebih tinggi; penilaian autentik; dan kerja sama. Anehnya, makna bukanlah hal pokok dalam diskusi-diskusi ini. Untuk saya, makna justru sangat penting”.

Elaine B. Johnson adalah doktor dalam bidang sastra Inggris. Dia salah seorang penulis dari empat seri buku teks pengajaran dan pembelajaran kontekstual untuk kelas 9 hingga 12 yang berjudul Literature for Life and Work (1997). Dia telah memberikan ratusan presentasi dan lokakarya kepada para guru Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas dan pengelola pendidikan di seluruh penjuru negeri di Amerika.
Elaine telah menerima banyak penghargaan atas metode mengajar yang dikembangkannya. Di antara pelbagai penghargaan yang diterimanya adalah Charles Wright Academy Inspirational Faculty Award, mendapat gelar Honorary Fellow dari Huron College, dan penghargaan dari University of Chicago atas metode mengajarnya yang luar biasa. Pengalamannya yang sedemikian luas memungkinkannya bereksperimen dengan berbagai strategi mengajar yang akhirnya berubah menjadi CTL.

Ihwal Makna dalam CTL
Dalam buku Mengikat Makna untuk Remaja (MLC, 2004), saya menunjukkan kepada para pembaca buku saya bahwa makna adalah “sesuatu yang berdesir di hatimu, hal-hal yang membuatmu melayang”. Tidak mudah untuk menyampaikan definisi makna kepada para remaja. Makna bersifat sangat pribadi dan sesuatu yang bermakna bagi seseorang belum tentu bermakna bagi orang lain. Yang jelas, di dalam sesuatu yang bermakna tentulah ada hal-hal yang membuat seseorang terkesan, tidak mudah dilupakan, dan memunculkan hal-hal baru yang sebelumnya tidak dirasakan.
 

Bagaimana menemukan sebongkah makna dalam kegiatan belajar-mengajar? Mungkinkah matakuliah matematika atau ekonomi menghadirkan makna? Apakah mengisahkan sejarah pertumbuhan ekonomi di zaman Orde Baru dapat membuat seorang mahasiswa terkesan sehingga muncul keinginannya untuk memahami secara detail? Apakah makna yang perlu diraih di perguruan tinggi sama dengan makna yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Bukankah makna ini terkait dengan diri pribadi, dan bagaimana menjelaskannya kepada para mahasiswa yang memiliki latar belakang yang sangat berbeda dan beragam?
Dalam Brain-Based Learning (The Brainstore, 2000), Eric Jensen menunjukkan dua tipe makna, yaitu makna-yang-dirumuskan (reference meaning) dan makna-yang-dihayati (sense meaning). Makna tipe pertama adalah makna yang ada di buku-buku, sedangkan makna tipe kedua adalah makna yang tercipta karena dikontekskan atau dikaitkan dengan kehidupan yang luas dan nyata. Dalam bahasa Jensen, kedua tipe makna tersebut dijelaskan sebagai berikut:
 

“Makna yang pertama (reference meaning) adalah semacam petunjuk, definisi dari kamus, yang mengacu ke wilayah leksikal sebuah kata. Misalnya, jas hujan adalah ‘pakaian berukuran besar yang anti-air atau pakaian yang terbuat dari plastik.’ Sementara itu, makna yang kedua (sense meaning) dari jas hujan, bisa jadi, amatlah berbeda. Meskipun saya tahu jas hujan, secara pribadi jas hujan itu tidak begitu berarti bagi saya karena saya tinggal di daerah yang jarang turun hujan. Saya punya jas hujan, namun jarang saya gunakan dan hanya memenuhi lemari saya.
 

“Coba bandingkan makna-yang-dirumuskan tentang jas hujan tersebut dengan makna-yang-dihayati yang mungkin dimiliki seseorang yang tinggal di daerah yang sering turun hujan. Bisa jadi, jas hujan milik orang yang tinggal di daerah hujan itu tidak hanya melindunginya dari cuaca yang tidak bersahabat, tetapi ia menjadi teman akrab yang menjaga kesehatannya. Ia juga melindungi pakaian rapinya yang menyebabkannya banyak menerima pujian.”
 

Merujuk ke rumusan makna yang dibuat Eric Jensen, tampaknya makna yang ingin dihadirkan oleh CTL adalah makna yang tidak sekadar ada di dalam buku-buku. Makna yang ada di dalam buku harus diperluas dan diperkaya hingga ke konteksnya yang tepat. Salah satu cara untuk membuat sebuah matakuliah, yang diajarkan kepada para mahasiswa, bermakna adalah dengan mengaitkan mata pelajaran tersebut dengan pengalaman sehari-hari sang mahasiswa atau menghubungkannya dengan keadaan lingkungan tempat para mahasiswa itu tumbuh dan berkembang.
 

Dalam buku Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual (MLC, 2005), saya menggunakan teori “multiple intelligences” (MI) temuan Howard Gardner untuk menemukan makna dalam sebuah kegiatan belajar-mengajar. Bagi saya, MI dapat menunjukkan keunikan setiap individu yang belajar. MI adalah cara masing-masing individu belajar sesuai dengan kekhasan-kekhasan yang dimilikinya. Di samping semua itu, MI juga membuka cakrawala saya untuk menemukan ilmu yang bermanfaat bagi sebuah kehidupan. (Dalam buku saya itu, saya menyebut ilmu yang bermanfaat sebagai “cahaya”—ilmu itu dapat menerangi dan membantu seseorang [yang memiliki ilmu tersebut] untuk menjalani kehidupan yang, secara terus-menerus, membaik.)
 

Melalui MI, saya mengaitkan sebuah matakuliah dengan seorang tokoh yang sukses. Misalnya, saya akan mengajarkan matakuliah Bahasa Indonesia. Maka, saya akan mengaitkan materi yang akan saya ajarkan dengan seorang tokoh yang sukses dalam menggunakan atau mempraktikkan Bahasa Indonesia. Sebuah pembelajaran akan efektif dan menyentuh diri anak didik apabila ada “model”. Dengan menghadirkan seseorang yang dapat dijadikan “model” atau teladan, proses pembelajaran itu pun terhindar dari kegiatan belajar-mengajar yang abstrak.
 

Menurut, Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence (Bantam Books, 1996), ada sebuah potensi di dalam diri manusia yang dapat membantunya untuk mengenali diri dan memahami orang lain. Potensi itu bernama EQ (kecerdasan emosi). Saya telah membahas secara panjang lebar soal peran emosi dalam membantu mengenali diri ini dalam buku saya yang berjudul Bu Slim dan Pak Bil Mengobrolkan Kegiatan Belajar-Mengajar Berbasiskan Emosi (MLC, 2005). Nah, salah satu peran emosi adalah memberi arti (lihat Jensen, Brain-Based Learning). Emosi—yang terletak di otak tengah (midbrain) dan dikendalikan oleh lymbic system yang bekerja sama dengan sebuah organ bernama amygdala—dapat membantu seseorang untuk mengaitkan hal-hal yang berada di luar diri dengan diri-terdalam (inner self)-nya. Jadi, untuk dapat menerapkan CTL—agar kegiatan belajar-mengajar itu bermakna—pengetahuan tentang emosi dan bagaimana melatih emosi sangatlah penting.

Tentang Pentingnya Mengaitkan
Dalam mengantarkan buku karya Elaine, Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), mengatakan, “CTL di Amerika Serikat bermula pada awal abad ke–21 ketika para pendidik menolak dualisme ihwal pikiran-tindakan, otak-gerak, fisik-psikis, konkret-abstrak, teoretis-aplikatif, dan sejenisnya. Dualisme ini sangat tidak produktif, karena makna yang sejati adalah makna keseluruhan yang tidak dapat dipreteli dengan alasan spesialisasi kepakaran para penulis buku atau pengembang kurikulum.” Untuk mengatasi dualisme itulah CTL menawarkan adanya keterkaitan, sebagaimana hal itu digambarkan dengan bagus oleh John Dewey:
 

“Sebuah delman tidaklah terlihat sebagai delman sebelum semua bagiannya terpasang; hubungan khas antara bagian-bagiannya itulah yang menjadikannya sebuah delman. Dan hubungan-hubungan tersebut bukan hanya keterkaitan fisik belaka; hubungan-hubungan tersebut melibatkan hubungan dengan hewan-hewan yang menariknya, benda-benda yang diangkutnya, dan seterusnya.”
Lantas, dalam Democracy and Education: An Introduction to the Philosophy of Education (Free Press, 1966), sekali lagi Dewey menunjukkan hal-hal penting soal keterkaitan tersebut, “Hanya di dalam pendidikan—bukan di dalam kehidupan para petani, pelaut, pedagang, dokter, ataupun peneliti laboratorium—pengetahuan berarti penyimpanan informasi yang tidak terkait dengan melakukannya.” Dalam bahasa yang lain, Dewey ingin menunjukkan bahwa pendidikan itu seharusnya memadukan atau mengaitkan teori dengan praktik (menerapkan teori tersebut di lapangan), bukan memisahkannya.
 

Menurut Elaine, pandangan Dewey itu selaras dengan pandangan-mutakhir para ahli biologi, psikologi, dan neurologi. Fritjof Capra, misalnya, mengatakan, “Bagian-bagian itu dapat dimengerti hanya di dalam konteks keseluruhan yang lebih besar. Dunia tempat kita hidup adalah suatu jaringan antarhubungan-hubungan.” Akhirnya, dari asas keterkaitan itu muncullah tiga prinsip CTL, yaitu
(1) interdependence (kesalingbergantungan),
(2) differentiation (keberbedaan atau ketidakmiripan), dan
(3) self-organization (pengorganisasian-diri). Inilah juga prinsip-prinsip alam. 
     Jadi, CTL selaras dengan kehidupan alam.
 

Bagaimana agar seseorang yang sedang belajar dapat menjalankan proses pengaitan? Pertama, seorang pengajar perlu mengubah persepsinya terhadap para muridnya yang mungkin selama ini mereka, para murid itu, dianggap sebagai “wadah”—misalnya saja “cangkir”—yang harus menampung apa saja yang diberikan atau dituangkan oleh sang pengajar. Para murid, untuk keperluan CTL, harus dianggap sebagai makhluk hidup yang aktif dan dapat mengolah apa saja yang masuk ke dalam dirinya. Alih-alih menjadi “cangkir”, mahasiswa harus menjadi ”tanaman” yang dapat menyerap dan mengolah air untuk keperluan hidupnya.
 

Kedua, berilah para murid seperangkat “alat” untuk mengonstruksi pengetahuan yang diperolehnya secara subjektif/pribadi. Salah satu “alat” yang menurut saya sangat ampuh untuk proses mengonstruksi adalah menulis. Saya memiliki konsep tentang menulis, yang berarti mengonstruksi, dengan nama “mengikat makna”. Kegiatan “mengikat makna” ini adalah kegiatan menulis yang sangat pribadi untuk mencari kaitan antara yang ditulis dengan diri orang yang menulis tersebut. Lewat “mengikat makna”, seseorang kemudian menunjukkan apa yang dipahaminya dan hal-hal apa yang mengesankannya.
 

Ketiga, membalik banyak hal berkaitan dengan proses kegiatan belajar-mengajar. Hal ketiga ini saya sandarkan pada pernyataan Tony Buzan, penemu metode “mind map”. Buzan mengatakan, “Dalam bentuk pendidikan yang baru, penekanan pendidikan harus dibalik. Jika tadinya berbagai fakta di luar diri seseorang yang lebih dahulu diajarkan, kita kita harus terlebih dahulu mengajarkan berbagai fakta tentang dirinya sendiri—fakta tentang cara manusia belajar, berpikir, mengingat, mencipta, dan menyelesaikan masalah.” Dalam bahasa Quantum Teaching, ini disebut sebagai “experience before labeling” (para pembelajar perlu mengalami lebih dahulu baru kemudian mereka diberitahu tentang konsep-konsep yang dialaminya itu yang telah dirumuskan oleh sebuah buku).


Bagaimana Memanfaatkan CTL
CTL akan membuat seorang pembelajar tahu secara pribadi untuk apa dia belajar sebuah matakuliah tertentu. CTL juga akan mengubah kelas-kelas yang penuh kehampaan dan kekakuan menjadi kelas-kelas yang hidup dan “berisi”. Ini dimungkinkan karena yang dituju dalam proses pembelajaran dengan menggunakan CTL adalah sesuatu yang berharga yang membuat semua penggiat sekolah bergairah untuk meraihnya. Di samping itu, CTL juga mengajak para pengajar dan anak didiknya bertindak proaktif untuk mencari keterkaitan ketika memahami hal-hal baru.
 

Saya akan mencoba meringkaskan secara sederhana apa itu CTL. Mungkin ringkasan saya di bawah ini tidak bersifat operasional atau praktis. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk mengembangkan dan mengontekskan CTL dengan keadaan diri Anda. Ada kemungkinan, secara tidak sadar, Anda pernah menerapkan apa yang saya ringkaskan ini. Saya berharap, apabila itu membawa manfaat, teruslah dikembangkan dan diperkaya sehingga diri Anda pun ikut berkembang bersama CTL.
 

Pertama, mulailah menjalankan kegiatan belajar-mengajar dari hal-hal yang bersifat subjektif terlebih dahulu baru kemudian menuju hal-hal yang bersifat objektif. Biasanya, ketika kita ingin belajar atau mengajar, kita menggunakan pedoman atau hal-hal yang sudah tercantum di panduan atau buku. Lewat CTL, panduan atau buku itu tetap digunakan, hanya ketika ingin memulai kegiatan belajar-mengajar, kaitkan apa yang ingin kita pelajari dan ajarkan itu kepada diri pribadi kita. Misalnya, kita, sebagai dosen, ingin mengajarkan kepada anak didik kita tentang teori gravitasi. Biarkan setiap anak didik mencari terlebih dahulu siapa itu Newton dan apa kaitan teori gravitasi dengan kehidupan mereka. Dorong mereka untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi tentang teori gravitasi dari sumber mana pun yang ada di lingkungan mereka.
 

Kedua, gunakan kemampuan menceritakan kembali atau menulis untuk melakukan proses mengonstruksi (merumuskan secara terstruktur) pengetahuan yang dikumpulkan dari lingkungan dan pengalaman pribadinya. Anak didik bukanlah wadah yang siap diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah subjek yang aktif dan hidup yang terus ingin mencari sesuatu yang cocok dengan dirinya. Pembelajaran tidak boleh membuat mereka seragam atau sama. Kegiatan belajar-mengajar harus menjadikan diri mereka pribadi yang unik yang memiliki perbedaan-perbedaan. Biarkan mereka berpendapat atau menyuarakan isi hatinya terlebih dahulu. Rangsang mereka agar berpikir kritis dan kreatif. CTL membuat para pembelajar itu dapat menggunakan otaknya dalam tingkat yang paling tinggi.
 

Ketiga, apa pun jenis matakuliah yang diajarkan kepada, atau dipelajari oleh, pembelajar, manfaat matakuliah itu harus dapat ditunjukkan dengan jelas bagi kehidupannya saat itu. Seberat dan sesulit apa pun materi yang akan dipelajari oleh para pembelajar, apabila materi itu dapat ditunjukkan kegunaan dan kaitannya dengan dunia nyata atau pengalaman sehari-hari mereka, tentulah mereka akan mau secara habis-habisan mempelajarinya. Tujuan-tujuan dalam pembelajaran yang berbasis CTL bukanlah berupa tujuan yang dirumuskan secara hampa tanpa makna. Tujuan tersebut harus dapat dikaitkan dengan masing-masing pribadi anak didik dan kehidupan nyatanya.[]

Tidak ada komentar:

 
Cebong`s Notez
---- Rhana-Ku. Green World Blogger Template---- © Template Design by Herro